Dilema Cinta
(Bismillah, ku pilih Kamu)
Sudah lima tahun, kehidupan di pondok ku jalani. Banyak
kenangan-kenangan indah dan pahit telah ku rasakan. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit, kini
aku telah bisa dikatan sebagai santri senior. Namu, seandainya mau diukur dari
sisi pengetahuan, kepandaianku tidaklah jauh beda dengan santri yunior. Aku
selalu merasa masih terlalu bodoh untuk dikatan sebagai santri senior. Aku
sering berpikir, apa yang telah aku dapatkan selama berada di pesantren ini?.
Menyandang predikat santri seniorlah yang membuatku sadar, bahwa aku harus bisa
mendidik, membina dan memberikan contoh yang baik pada santri junior. Oleh
sebab itu, aku selalu berusaha untuk bisa dikatakan pantas sebagai santri
senior, dan bisa melakukan tugas-tugas sebagai santri senior.
Sementra dari rumah, aku sering
diberi kabar oleh teman-teman, bahwa teman sekelasku waktu di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) sudah banyak yang bertunangan, bahkan ada yang sudah menikah.
Sehingga sering kali tetangga dan teman-temanku menanyakan, "Dadang, kamu
kapan akan bertunangan?" "Tinggal kamu yang masih belum" kata
mereka. Maklum didesa, sepertinya
bertunangan sudah menjadi tradisi yang sangat kental dengan kehidupan
masyarakat, dan biasanya ada kebanggaan tersenidiri ketika putra atu putrinya telah
bertunangan.
Aku tidak mau ambil pusing
dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, yang terpenting sekarang aku harus fokus
pada sekolah. Kasihan orang tua dirumah yang telah membiayaiku mulai dari biaya
pondok dan biaya sekolah. Soal jodoh belakangan, sebab jodoh sudah ada ditangan
tuhan. Begitu gumamku suatu ketika.
Bukannya aku apatis dan
apriori terhadap masalah perasaan cinta. Sebab, rasa cinta itu sudah pasti ada
pada diri setiap insan yang normal, termasuk pada diriku. Tapi untuk saat itu
aku menahannya sebisa mungkin supaya aku tidak hanya disibukkan dengan urusan
cinta yang dapat mengangu pada konsentrasi belajarku di pondok.
Namun, entah mengapa,
seberapa besar kekuatanku untuk menekan rasa cinta, maka sebesar itu pulalah rasa
cinta tumbuh bersemi didalam hatikuku. Semoga saja perasaan ini tidak
mengganggu terhadap konsentrasi belajarku dipondok, pikirku kala sudah dilanda
perasaan cinta. Perasaan itu muncul saat aku sering berkomonikasi lewat HP dengan
dua orang teman cewekku, mereka berdua adalah teman lama waktu masih sekolah di
MI, yang satu teman sekelas sebut saja Zahrah dan yang kedua adik kelasku
namanya Malisa.
Dahulu waktu aku masih sekolah
di MI, keduanya merupakan teman dekatku, teman belajar bersama dan juga teman bermain
bersama layaknya usia anak-anak. Mungkin karena aku sering bersama Zahrah dan
Malisa, maka dalam hatiku ada perasaan senang pada mereka berdua. Pada waktu
itu, Seperti halnya anak-anak pedesaan yang masih bau kencur, aku masih buta
soal cinta, tidak mengerti apa itu cinta yang ada hanya rasa senang pada Zahrah
dan Malisa. Tapi, kalau aku pikir-pikir sekarang, aku baru sadar, mungkin itu
yang dinamakan cinta. Hingga akhirnya aku lulus dari MI dan melanjutkan
pendidikan ke pesantren, aku tidak pernah mengutarakan rasa "senangku"
pada mereka berdua. Namun, aku yakin dia juga mempunyai perasaan yang sama
seperti aku. Setelah dua tahun, aku mendengar kabar kalau Zahrah dan Malisa
mondok berkumpul di satu pondok, tapi bukan di pondok yang sama denganku.
Hingga kini, aku telah duduk
di bangku sekolah MA (setingkat SMA), yang sudah agak mengerti apa itu perasaan
cinta. Namun, masih belum juga mengutarakan kata-kata cinta baik dari aku
ataupun dari dua orang temanku itu. Walaupun sebenarnya kami sering
berkomonikasi lewat HP. Apa yang kami bicarakan mengalir saja bagaikan air,
tanpa menyinggung perasaan apa-apa.
Menurutku, Zahrah dan Malisa
adalah dua sosok wanita yang sangat istimewa. Selain dia memilki paras yang
menawan, cantik, memiliki sifat baik dan juga pintar. Tidak heran kalau dia
selalu mendapatkan rangking di kelasnya. Bahkan Zahrah pernah didaulat untuk
menjadi ketua OSIS di sekolahnya.
Perasaan ingin bertemu
dalam diriku sudah pasti ada. Tapi, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan
untuk tidak bertemu. Disamping kami sama-sama berada dalam pesantren, yang penuh
dengan aturan, juga jarak antara pesantren saya dengan pesantren Zahrah dan
Malisa sangat jauh. Saling telepon-teleponan menjadi sarana yang efektif bagi
kami untuk selalu bertukar kabar dan mengobrol. Seakan-akan aku mempunyai istri
dua, yang mengharuskan untuk berbuat adil, dengan membagi waktu antara mereka
dalam menelepon. Lucu kayaknya kalau difikir-fikir…!
Waktu terus beralu, makin
lama aku sering menelepon dengan mereka. Maka, aku semakin yakin bawa memang
perasaan cinta dan kasih sayang telah tumbuh dalam hatiku. Tapi aku bingung,
pada siapakah aku akan mengungkapkan perasaan ini? Pada siapakah aku harus
menambatkan hati ini? Apa pada Zahrah atau Malisa aku akan melabuhkan bahtera cintaku
ini? Entahlah, makin lama aku makin kebingungan dan semakin mengusik ketenangan
jiwaku.
Sebab, Zahrah dan Malisa sama-sama
istimewa bagiku. Pada akhirnya aku terjebak pada dilema yang membingungkan. Aku
bagaikan musafir yang kehilangan arah, tidak tahu harus kemana akan melangkah,
apakah pada Zahrah atau pada Malisa. Sedangkan mereka berdua tetap saja dingin
seperti biasa.
Hingga suatu waktu, aku
mendengar kabar, kalau Malisa telah bertunangan dengan orang lain. Mendenar
kabar itu, aku merasa gelisah yang luar biasa, apalagi aku baru tahu meurut
kabar dari teman dekatnya, sebenarnya Malisa itu sangat cinta dan sayang padaku,
dia juga sangat mengharapkan diriku, tapi karena diriku tidak pernah menyinggung
soal cinta, Malisa beranggapan bahwa aku tidak mencintai dia, atau mungkin aku
telah punyak orang lain. Akhirnya ketika ada orang yang melamar dia pada orang
tuanya dia langsung menyetujui. Maka terjadilah pertunangan.
Remuk redam rasa dalam hatiku,
perasaan kesal, galau dan terpukul menjadi satu. Tapi, aku pikir kenapa harus
begitu? Kan
salah aku bukan salah dia, yang tidak pernah memberikan kepastian soal cinta
pada dia. Wanita memang butuh kepastian, bukan cinta semu. Ditengah-tengah perasaanku
yang lagi kacau tak menentu itu, tiba-tiba HPku bergetar, setelah aku lihat
ternyata Malisa menelepo, tanpa piker panjang langsung aku angkat dan kami
ngobrol seperti biasa walaupun dengan perasaan yang berbeda.
"Oya, kata
teman-teman kamu sudah bertunangan lisa?" aku bertanya pura-pura tidak tahu.
"Kata Siapa? itu bohong
Dadang!" jawabnya, dengan bergurau.
"Tidak usah mungkir
lagi, semua orang sudah tau kok!".
"Kalau iya, kenapa
dang?"
"Ya, tidak apa-apa,
aku cuma mau mengucapkan selamat saja". jawabku dengan nada blepotan
karena perasaan lagi tak menentu.. Lama tidak ada jawaban dari Malisa, entah
apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba……
"Ya, Sudah dulu Dang,
aku ada kegiatan pondok ne!". kata Malisa dan langsung mnenutup telponnya
dengan tergesa-gesa, tanpa menungu jawaban lagi dariku.
Akupun tidak mau merusak
pertunangan dia. Makanya aku sudah jarang menelepon dia. Kami hanya menelepon
ketika ada hal-hal penting saja.
Sementara dilain waktu Zahrah
masih terus saja menelepon denganku seperti biasa, bahkan dia juga bercerita
kalau Malisa sudah bertunangan.
"Dang, kamu tahu gak kalu
Malisa sudah bertunangan"? kata Zahrah padaku
"Tahu, memannya
kenapa?"
"Aduh kasihan, sudah
di ambil orang ya!" candanya masih selalu ada.
"Memangnya Malisa apanya
aku?, biarkan dia mau tunangan, mau kawin kek. Gak ngurus!" jawabku
meyakinkan.
"Kamu kapan akan
bertunangan juga dang?" Zahrah bertanya padaku.
"Secepatnya!"
"Oh, sudah ada calon,
Siapa?"
"Mau Tahu?".
"Ia, Siapa kenalin dong
sama aku!"
"Beneran nie mau tahu"
"Iya,!"
"Kalau KAMU
bagaimana?!" jawabku singkat dengan nada bercanda juga.
Mendengar jawabanku, Zahrah
malah tertawa dan ngeledek aku, karena dia tahu kalau aku itu hanya bercanda
dan tidak serius, seperti halnya ktika kami ngobrol yang selalu dibarengi
dengan canda. Walaupun sebenarnya aku memang sengaja memancing bagaimana reaksi
dari dia.
Semakin lama maka aku
semakin yakin bahwa Zahrahlah yang terbaik buatku. Ketika ada liburan pondok
aku dan Zahrah sering bertemu walau Cuma mengobrol sebentar. Tidak mau
kegagalan dua kali, suatu ketika aku dengan serius mengunkapkan perasaan cinta
pada dia, dalam artian aku menembak Zahrah, walaupun lewat HP. Zahrah tidak
langsung memberikan jawaban, dia memberikan waktu padaku dua hari untuk
berpikir. Akupun menerimanya, bahkan aku juga menyuruh dia kalau perlu silahkan
shalat Istikharah dulu.
Setelah sampai pada waktu
yang ditentukan, Zahrah menelepon ku. Perasaan cemas dan penasaran pada jawaban
Zahrah telah menyelimuti hatiku. Setelah lama berbincang-bincang akhirnya dengan
agak malu dia mengatakan "Entah jawabanku ini akan membuat kamu merasa bahagia
atau tidak, aku tidak tahu. Tapi, yang jelas aku menerima cinta mu setulus hati".
Mendengar jawaban seperti itu hatiku berbunga-bunga, tidak bisa digambarkan
bagaimana bahagianya perasaanku. Dan dia juga bercerita kalau sebenarnya dia
memang sudah dari dulu yang punya perasaan cinta padaku, Cuma karena dia seorang
cewek, dia malu untuk mengutarakan duluan padaku.
Setelah aku sudah resmi
jadian dengan Zahrah, hanya selang beberapa bulan, dengan perasaan yakin dan tekat
yang bulat, hatiku berkata "BIsmilla, Aku pilih kamu teman kelasku bukan
dia adik kelasku". Maka aku langsung memberitahukan pada orang tuaku untuk
melamar dia. Syukur orang tuaku langsung menyetujui, lamaranpun dilangsungkan, dan
berjalan dengan lancar. Hingga saat ini, aku dan Zahrah telah resmi bertunangan.
Semoga kami sampai pada jenjang pelaminan dan menjadi keluarga yang sakinah
mawaddah dan warahmah. Amein…!!!
Oretan di Pojok KamarQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong isi dulu yang lengkap ya, karena anda sangat berarti bagi kami