Rabu, 14 September 2016

Cerpen : Berani Mengambil Resiko



BERANI MENGAMBIL RESIKO
Oleh : Moh. Dasuki SN

Entah apa yang ada dipkiran Sugi waktu itu, tiba-tiba terdengar kabar kalau dia akan pergi merantau ke Malaysia. Dilihat dari segi keadaan ekonominya, dia tergolong orang yang mampu dibandingkan dengan aku dan tetangga lain sekitar. Lebih heran lagi karena di lingkungan kami, sangat jarang bahkan bisa dibilang tidak ada orang yang pergi merantau ke Malaysia. Orang-orang di desa kami kebanyakan pekerjaanya menjadi petani dan pedagang rumahan dan di pasar-pasar, layaknya seperti lazimnya orang-rang desa.
Makin lama, kabar tersebut makin santer menyebar di desa kami. Kabarnya pun menjadi simpang-siur, bahkan ada yang mengatakan kalau dia akan berangkat dua hari lagi ke Malaysia. Tinggal menunggu jemputan dari orang yang mau memberangkatkannya (tekong). Menurut kabar yang aku dengar, sebenarnya telah banyak orang yang melarang Sugi agar tidak pergi merantau ke Malaysia, termasuk kerabat-kerabat Sugi sendiri. Namun, saran dan nasehat dari kerabat-kerabatnya tidak ada yang didengarkan.
Pada malam hari, akhirnya aku dan Bapakku pergi kerumah Sugi, untuk silaturrahmi dan menanyakan kebenaran kabar yang telah beredar luas di desa kami. Keluarga kami dan keluarga Sugi memang sering berhubungan karena masih dalam satu kampung. Setelah aku dan Bapakku sampai dirumah Sugi, kami mengobrol sebenatar, kemudian Bapakku menanyakan pada Sugi tentang hal itu, ternyata benar kalau dia besok malam sudah mau berangkat merantau ke Malaysia.
“Iya paman, doakan saya, Insya Allah besok malam sudah mau berangkat” jawab sugi pada Bapakku, ketika ditanya hal itu.
“Kamu bersama siapa Gi?” Bapakku bertanya ingin tahu lebih banyak.
“Ada paman, saya punya teman yang sudah sukses disana. Kebetulan sekarang dia pulang. Jadi saya berangkat bersama kesana”
“Maaf ya Gi, bukannya saya mau mencegah atau melarang kamu untuk merantau ke Malaysia, tapi apakah sudah kamu pikirkan masak-masak?”
“Iya Paman, tekad saya sudah bulat untuk berangkat”. Jawab sugi dengan suara lirih. “Disini saya tidak mendapatkan pekerjaan apa-apa paman, sedangkan kebutuhan terus meningkat”. Lanjut Sugi dengan pandangan kosong kedepan. “Bukannya saya tidak mau bersyukur atas pemberiann Allah paman. Tapi, saya disini benar-benar tidak ada pekerjaan yang dapat menupang kehidupan keluargaku”. Sugi berhenti sejenak sambil merenung. “Paman sebagai tokoh masyarakat tentu tahu, bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki pada orang yang tidak berusaha dan bermals-malasan. Jadi kepergianku ini dalam rangka usaha paman”.
“Memang betul apa yang kamu katakan, bahkan Rasul pernah melarang ketika melihat seseorang yang hanya terus-menerus berdiam diri di masjid sambil berdo’a “Ya Allah berilah hamba rezeki” Dengan tanpa berusaha sedikitpun”. Jawab Bapakku membenarkan, lalu diam sejenak. “Tapi, kenapa kamu tidak berusaha disini saja? Bukankah lebih baik hujan batu di Negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain?” Bapakku mengutip sebuah pepatah, sengaja untuk melihat reaksi dan jawaban Sugi.  
Sugi diam membisu sambil tertunduk lesu. Pikirannya berkecamuk memikirkan kata-kata terakhir Bapakku barusan. Setelah lama tidak ada suara akhirnya Sugi berbicara juga.
“Paman sebagai tokoh masyarakat, memang seharusnya untuk menasehatiku. Tapi  Maaf Paman,  bukannya saya bermaksud mengkel, tapi insya Allah saya tetap akan berangkat”. Jawabnya singkat. “Sudah, tidak usah khawatir dan berpikiran macem-macem pada saya, dikarenakan di desa ini tidak ada orang yang berangkat merantau ke Malaysia. Aku paham pikiran paman. Siapa tahu saya bisa mengubah keadaan keluarga lebih baik, sehingga bisa membuat lebih khusuk dan tenang dalam beribadah”.    
“Iya tidak apa-apa. Itu terserah kamu”. Bapakku mendingikan suasana, sebab dari tadi sudah mulai agak tegang. “Terus istri dan anakmu yang masih bersekolah itu bagaimana, apakah kamu tega meninggalkan mereka?”
“Kalau berbicara tega, tentu saja saya tidak tega paman. Tapi, mau bagaimana lagi. Dan saya sudah bermusyawarah dengan mereka semua. Saya pergi bukan untuk kemana. Seperti yang telah saya katakana tadi, saya pergi untuk mencari tambahan nafkah untuk keluarga paman.”. Jawab Sugi dengan penuh keyakinan.
Melihat jawaban Sugi yang sudah mentok seperti itu, Bapakku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sugi sudah benar-benar memiliki tekad bulat untuk berangkat merantau ke Malaysia. Akhirnya Bapakku hanya bisa mendo’akan saja, semoga dia sukses selama dalam perantauannya di Malaysia. Setelah selesai mgobrol dengan Sugi dan keluarganya, aku dan Bapkku langsung berpamitan pulang.
Dalam perjalanan pulang, aku dan Bapakku diam membisu, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, sama-sama berkelana dalam alunan fikiran masing-masing. Hal itu menambah sepinya pekat malam yang hanya diterangi oleh senter kecil yang aku bawa. Jangkrik-jangkrik berbunyi dan burung-burung hantu bersahut-sahutan disepanjang perjalanan yang kami lalui sehingga menambah suasana menjadi seram.
“Kak Sugi kok berani berangkat ke Malaysia ya pak?” kataku pada Bapakku untuk mencairkan sepinya malam. “Padahal kalau kita lihat berita-berita, banyak orang-orang Indonesia yang dihukum bahkan ada yang dihukum mati disana”. Lanjutku.
“Ya tidak tahu juga nak, kau kan tahu sendiri jawaban dia tadi, dia sudah bertekad untuk tetap berangkat”. Akhirnya bapakku berkata-kata juga, itu yang aku tunggu-tunggu dari tadi. “Kita do’akan saja semoga dia selamat dan sukses disana”. Tambahnya.
“Iya pak”. Jawabku singkat. “Orang-orang yang merantau ke Malaysia biasanya menjadi apa ya pak?” aku bertanya lagi pada Bapakku.
“Ya, macam-macam nak, sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada yang menjadi pembantu, ada yang menjadi sopir, ada yang menjadi tukang bangunan, ada yang bekerja di tokoo, dan lain-lain”
Tidak lama setelah obrolan itu akhirnya kami telah sampai dirumah. Ternyata   ibuku sudah menunggu dirumah untuk mengetahui kabar sebernarnaya perihal Sugi.
“Assalamu’alaikum” kata ayahku ketika sudah sampai didepan rumah.
“Wa’alikum salam” ibuku menjawabnya. “Bagaimana pak, tentang Sugi, apa dia benar-benar mau berangkat ke Malaysia?” Ibuku langsung menanyakan pada bapak karena penasaran, walupun Bapak masih belum duduk.
“Iya Bu, dia sudah bulat, katanya besok malam mau berangkat”.
“Dapat ide dari mana dia ya, Padahal disekitar sisni kan tidak ada yang merantau ke Malaysia pak?”. Ternyata ke gelisahan ibu sama dengan kegelisahan kami.
“Kata Sugi dari temannya, tidak tahu juga aku temannya yang mana” jawab Bapakku sambil membuka baju. “Semoga saja dia tidak ditipu oleh temannya yang dimaksud itu Bu” lanjutnya.
Kami asyik mengobrol tentang Sugi yang mau berangkat ke Malaysia sampai pada hal-hal lain. Keakraban dan keharmonisan keluarga kami benar-benar terasa pada waktu itu. Sedangkan aku kebanyakan hanya menjadi pendengar setia saja, hanya sesekali aku ikut berbicara itupun jika Bapak atau Ibuku bertanya padaku. Kemudian setelah itu kami bersama-sama menuju meja makan, untuk makan malam bersama.
****
Besok malamnya sekitar jam 21.00, tiba-tiba ada mobil Avanza warna silver masuk ke rumah Sugi. Para tetangga bertanya-tanya penasaran, siapa gerangan yang datang. Soalnya Selama ini di desa kami tidak ada orang yang memiliki mobil se mewah itu. Usut punya usut, ternyata itu adalah mobil teman Sugi yang akan menjemput Sugi pergi merantau ke Malaysia. Mengetahui demikian, tetangga langsung  berduyung-duyung mendatangi rumah Sugi. Maka dirumah Sugi menjadi agak ramai, para kerabat sugi juga ada disana. Mereka semua berkupul untuk melihat dan melepas kepergian Sugi.
Isak tangis sudah mulai terdengar, kerabat dan tetangga banyak yang menagis tersebu-sedu. Seakan-akan mereka tidak percaya kalau Sugi akan melakukan hal senekat itu. Nekat menurut kami, karena selama ini di desa kami belum ada yang pergi merantau ke luar Negeri. Apalagi selama ini mereka mengenal Sugi sebagai sosok yang sederhana dan sering membantu tetangga yang lagi kesusahan. Lantas tiba-tiba mereka mendengar Sugi mau berangkat merantau ke Malaysia.
Sementara Sugi sendiri didalam rumah, kelihatannya tenang-tenang saja, walaupun sebenarnya dalam hatinya dia juga ingin menangis, karena akan berpisah dari seluruh keluarganya dan akan hidup hanya dengan temannya di Negeri orang lain, Malaysia. Namun, Sugi tidak menampakkan kesedihannya pada keluarga dan tetangganya, agar mereka tidak semakin sedih melihat kepergiannya. Sugi berusaha untuk menampakkan sikap biasa-biasa saja.
Ketika semua persiapan sudah selesai dan sudah di cek semua, Sugi berpamitan pada keluarganya, terutama pada orang tua, Istri dan anaknya yang lagi sedu-sedan menangis.
“Ma, aku mau berangkat ya!” kata Sugi dengan haru, bahkan dia juga mau menangis tapi terus ditahannya. Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut istrinya. Istrinya terus saja menangis semakin menjadi-jadi.
“Sudah ma, jangan seperti itu. Itu nanti hanya akan menambah beban dalam diriku”.”Nanti aku tidak tenang di Malaysia!”. Sugi mencoba menyadarkan istrinya. Setelah agak lama, akhirnya istrinya berhenti juga menangis.
“Nah, begitu dong. Itu baru istriku” kata Sugi sambil bergurau, namun istrinya tetap diam. Sekan-akan dia tidak rela untuk melepaskan kepergian Sugi.
“Sudah ya, aku mau berangkat. Kasihan temanku itu sudah menunggu dari tadi”.
Tetap tidak ada jawaban yang keluar dari mulut istrinya, hanya anggukan kecil dipaksakan yang dilihat Sugi.
Kemudian Sugi menoleh pada anaknya yang bernama Waris, “Waris, kamu jangan nakal ya nak, jangan lupa untuk selalu rajin belajar dan membantu ibu”. Kata Sugi pada anaknya. Anaknya hanya mengangguk. dan Sugi memeluk mereka berdua dengan erat.
Setelah itu Sugi sungkeman pada kedua orang tuanya, sambil berkata
“Aku mau berangkat Pak, Bu. Daoakan aku semoga aku selamat dan sukses disana”. “Dan tolong jaga istri dan anakku”. Lanjutnya.
“Iya nak” jawab orang tuanya singkat, sambil mengusap-usab Sugi disertai dengan isak tangis. Aku yang melihat kejadian itu juga turut menangis karena haru.
Setelah selesai berpamitan pada seluruh keluarga, Sugi keluar dari rumah. Diluar rumah  sudah banyak tetangga yang menunggu dari tadi. Sugi langsung berpamitan pada mereka semua sambil bersalaman tanda perpisahan. Hanya kata-kata “Doakan aku ya”, yang Sugi katakan pada mereka semua.
Sugi menuju mobil avanza yang telah diparkir didepan rumahnya, yang dari tadi sudah siap untuk berangkat. Dia masuk kedalam mobil itu, dan langsung dibawa berangkat. Sugi melambai-lambaikan tangan pada keluarga dan orang-orang yang ada dirumahnya sebagai tanda perpisahan.
Setelah mobil agak jauh meninggalkan rumah, barulah sugi menagis mengeluarkan air mata yang sedari tadi ditahan selama dirumahnya. Sugi menangis sejadi-jadinya.
“Sudah jangan menangis Gi. aku juga seperti itu dulu pada waktu mau berangkat pertama kali”. Tiba-tiba temannya yang didalam mobil berkata, yang bernama Shaleh. “Tapi aku berpikir, aku pergi untuk mencari nafkah untuk keluarga, bukan untuk bersenang-senang atau apapun”. Lanjut Shaleh untuk menenangkan Sugi.
Namun, tetap tidak ada suara dari Sugi. Sementara mobil itu terus melaju semakin jauh meninggalkan rumahnya. Teman Sugi yang bernama Shaleh itu sudah sepuluh tahun berada di Malaysia, dan dia sekarang sudah sukses.
Di rumah Sugi sendiri sudah mulai sepi. Tetangga dan kerabat yang tadinya datang ke rumahnya mulai berangsur-angsur pulang setelah mereka bertemu dan menghibur istri dan keluarga Sugi. Sekarang hanya tinggal penghuni rumah Sugi itu sendiri yaitu, istrinya, anaknya dan kedua orang tua Sugi. Mereka semua diam, berlayar dalam lamunan pikiran masing-masing.
 Selang beberapa hari, tiba-tiba HP butut istri Sugi berbunyi. Setelah dilihat nomor baru memanggil, dan itu nomor berbeda, tidak seperti nomor yang biasa dipakai oleh orang-orang di desanya. Tanpa berpikir panjang, istri Sugi langsung mengangkatnya.
“Hallo” kata istri Sugi ketika mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum, ma!” kata orang yang berada diujung telepon. Mendengar suara itu istri Sugi langsung bahagia, karena dia tahu betul kalau itu adalah suara suaminya.
“Waalaikum salam, kamu ya pa?” Tanya sitri sugi meyakinkan.
“Iya ma. Al-hamdulillah aku sudah sampai di Malaysia dengan selamat!”
“Syukurlah kalau begitu” jawab istri Sugi dengan haru.
“Bagaimana keadaan Mama dan keluarga dirumah?”
“Al-hamdulillah juga baik-baik saja pa. Waris sekarang  masih belum datang sekolah pa”. jawab istrinya.
Terus terjadilah obrolan diantara mereka berdua sekedar untuk melepaskan rasa kangen dan rindu  mereka. Sambil menceritakan seputar keadaan dan pekerjaan Sugi di Malaysia. Setelah sudah puas mengobrol, Sugi langsung mengucapkan salam sambil menutup teleponnya.
***
Setelah hampir satu tahun lamanya, terdengar kabar yang menghebohkan. Bagaimana tidak, kalau ternyata keberangkatan Sugi ke Malaysia tidak dilengkapi dengan surat-surat yang resmi alias dia menjadi TKI ilegal, yang sewaktu-waktu bisa berakibat fatal pada dirinya. Menurut cerita dari keluarga Sugi, keberangkatannya ke Malaysia melalui jasa tekong, karena lebih murah dan lebih gampang urusannya dibandingkan dengan yang resmi. Maklum, orang desa suka mencari-cari yang lebih murah dan gampang walaupun itu bisa berakibat fatal dan tidak bagus.
Selama perantauannya di Malaysia, Sugi bekerja menjadi kuli bangunan. Dia harus sembunyi-sembunyi ketika bekerja untuk menghindari petugas kepolisian Malaysia, yang sewaktu-waktu datang memeriksa kelengkapan surat-surat dari para TKI. Bahkan tidak jarang Sugi harus lari karena dikejar-kejar oleh petugs tersebut. Menurut cerita dari keluarga Sugi selama ini keadaan Sugi masih tidak tenang dan terancam disana. Selalu diselimuti dengan rasa takut. Bahkan Dia juga harus rela tinggal di hutan demi untuk menghindari kejaran petugas polisi. Siang hari secara sembunyi-nembunyi dia pergi untuk bekerja dan berbaur dengan temannya, malam hari kadang dia harus kembali lagi kehutan tempat persembunyiannya.
Untung Sugi selamat tidak tertangkap, temannya yang juga dari Indonesia yang berangkat secara illegal sudah tertangkap, dan di penjara di Malaysia. Sebenarnya Sugi berkeingnan juga untuk membuat paspor dan surat-surat kelengkapan lain. Tapi, untuk saat itu dia masih belum punya uang, atau mungkin masih belum cukup. Upah dari hasil kerja, sebagian dia kirimkan untuk keluarga dirumah, sebagai biaya hidup dan biaya pendidikan anaknya, walaupun hanya seadanya. Sehingga tidak boleh tidak untuk sementara dia harus rela sembunyi-sembunyi untuk menghindari petugas hingga dia memilki surat-surat lengkap.
****
Singkat cerita, saat ini setelah kurang lebih sepuluh tahun Sugi berada di Malaysia. kabarnya dia sekarang sudah memilki surat-surat resmi dan paspor. Bahkan pekerjaan dia sudah naik jabatan, yang asalnya hanya sebagai kuli bangunan, sekarang sudah berpindah sebangai mandor, dia memiliki gaji yang lebih tinggi dibanding dengan tukang-tukang lain. Sekarang Sugi tinggal menikmati dan menekuni pekerjaannya, tidak perlu takut dan bermain kejar-kejaran lagi dengan petugas kepolisian setempat.
Kiriman uang ke rumahnya pun lancar, bahkan saat ini keluarganya dirumah telah mampu membangun rumah yang megitu mewah, dapat dikatakan rumah itu tidak ada yang menandingi kemewahannya di desa kami. Demikian juga dengan anaknya, Waris  yang dulunya hanya memiliki sepeda motor biasa, sekarang sudah memiliki sepeda motor yang harganya puluhan juta rupiah. Waris juga dikuliahkan di universitas yang sangat elit dikotanya. Pokoknya kehidupan keluarga Sugi saat ini sudah berubah berbalik seratus delapan puluh derajad lebih baik. Dan itu tidak lepas dari keberhasilan dan kerja keras yang dilakukan Sugi.
Tahun 2010 kemarin, Sugi mengajak istrinya untuk sama-sama merantau ke Malaysia. Hingga akhirnya istrinya hamil disana, dan ketika sudah sampai tujuh bulan, Sugi dan istrinya pulang ke daerahnya. Tujuannya untuk melakukan ritual tujuh bulanan, dan supaya nanti istrinya dapat melahirkan di tempat kelahiran Sugi. Tapi nasib, keluarga Sugi didera cobaan lagi, anak yang ada dalam kandungan istrinya itu meninggal saat dilahirkan.
Diakhir cerita ini, yang terpenting saat ini di desa kami sudah banyak juga yang pergi merantau ke Malaysia. Maindset  yang miring terhadap orang yang pergi merantau sudah berubah. Merantau ke Malaysia sudah bukan menjadi hal tabu lagi didesa kami. Ada yang sukses, ada juga yang tidak,bahkan ada juga yang tertangkap di Malaysia karena tidak memiliki surat-surat resmi. Orang-orang yang mau berangkat ke Malaysia pasti akan menghubungi Sugi, dan dia pula yang menempatkan dan mencarikan mereka pekerjaan.Keberanian dan keyakinan Sugi untuk merantau ke Malaysia telah membuka jalan baru bagi orang-orang di desa kami. Hal itu dapat terjadi tidak lain karena Sugi berani mengambil resiko!.