BERANI
MENGAMBIL RESIKO
Oleh : Moh.
Dasuki SN
Entah
apa yang ada dipkiran Sugi waktu itu, tiba-tiba terdengar kabar kalau dia akan
pergi merantau ke Malaysia. Dilihat dari segi keadaan ekonominya, dia tergolong
orang yang mampu dibandingkan dengan aku dan tetangga lain sekitar. Lebih heran
lagi karena di lingkungan kami, sangat jarang bahkan bisa dibilang tidak ada
orang yang pergi merantau ke Malaysia. Orang-orang di desa kami kebanyakan pekerjaanya
menjadi petani dan pedagang rumahan dan di pasar-pasar, layaknya seperti lazimnya
orang-rang desa.
Makin
lama, kabar tersebut makin santer menyebar di desa kami. Kabarnya pun menjadi
simpang-siur, bahkan ada yang mengatakan kalau dia akan berangkat dua hari lagi
ke Malaysia. Tinggal menunggu jemputan dari orang yang mau memberangkatkannya
(tekong). Menurut kabar yang aku dengar, sebenarnya telah banyak orang yang
melarang Sugi agar tidak pergi merantau ke Malaysia, termasuk kerabat-kerabat Sugi
sendiri. Namun, saran dan nasehat dari kerabat-kerabatnya tidak ada yang
didengarkan.
Pada
malam hari, akhirnya aku dan Bapakku pergi kerumah Sugi, untuk silaturrahmi dan
menanyakan kebenaran kabar yang telah beredar luas di desa kami. Keluarga kami
dan keluarga Sugi memang sering berhubungan karena masih dalam satu kampung. Setelah
aku dan Bapakku sampai dirumah Sugi, kami mengobrol sebenatar, kemudian Bapakku
menanyakan pada Sugi tentang hal itu, ternyata benar kalau dia besok malam sudah
mau berangkat merantau ke Malaysia.
“Iya
paman, doakan saya, Insya Allah besok malam sudah mau berangkat” jawab sugi
pada Bapakku, ketika ditanya hal itu.
“Kamu
bersama siapa Gi?” Bapakku bertanya ingin tahu lebih banyak.
“Ada
paman, saya punya teman yang sudah sukses disana. Kebetulan sekarang dia pulang.
Jadi saya berangkat bersama kesana”
“Maaf
ya Gi, bukannya saya mau mencegah atau melarang kamu untuk merantau ke
Malaysia, tapi apakah sudah kamu pikirkan masak-masak?”
“Iya
Paman, tekad saya sudah bulat untuk berangkat”. Jawab sugi dengan suara lirih. “Disini
saya tidak mendapatkan pekerjaan apa-apa paman, sedangkan kebutuhan terus
meningkat”. Lanjut Sugi dengan pandangan kosong kedepan. “Bukannya saya tidak
mau bersyukur atas pemberiann Allah paman. Tapi, saya disini benar-benar tidak
ada pekerjaan yang dapat menupang kehidupan keluargaku”. Sugi berhenti sejenak
sambil merenung. “Paman sebagai tokoh masyarakat tentu tahu, bahwa Allah tidak
akan memberikan rezeki pada orang yang tidak berusaha dan bermals-malasan. Jadi
kepergianku ini dalam rangka usaha paman”.
“Memang
betul apa yang kamu katakan, bahkan Rasul pernah melarang ketika melihat
seseorang yang hanya terus-menerus berdiam diri di masjid sambil berdo’a “Ya
Allah berilah hamba rezeki” Dengan tanpa berusaha sedikitpun”. Jawab Bapakku membenarkan,
lalu diam sejenak. “Tapi, kenapa kamu tidak berusaha disini saja? Bukankah
lebih baik hujan batu di Negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang
lain?” Bapakku mengutip sebuah pepatah, sengaja untuk melihat reaksi dan
jawaban Sugi.
Sugi
diam membisu sambil tertunduk lesu. Pikirannya berkecamuk memikirkan kata-kata
terakhir Bapakku barusan. Setelah lama tidak ada suara akhirnya Sugi berbicara
juga.
“Paman
sebagai tokoh masyarakat, memang seharusnya untuk menasehatiku. Tapi Maaf Paman,
bukannya saya bermaksud mengkel, tapi insya Allah saya tetap akan
berangkat”. Jawabnya singkat. “Sudah, tidak usah khawatir dan berpikiran
macem-macem pada saya, dikarenakan di desa ini tidak ada orang yang berangkat
merantau ke Malaysia. Aku paham pikiran paman. Siapa tahu saya bisa mengubah
keadaan keluarga lebih baik, sehingga bisa membuat lebih khusuk dan tenang
dalam beribadah”.
“Iya
tidak apa-apa. Itu terserah kamu”. Bapakku mendingikan suasana, sebab dari tadi
sudah mulai agak tegang. “Terus istri dan anakmu yang masih bersekolah itu
bagaimana, apakah kamu tega meninggalkan mereka?”
“Kalau
berbicara tega, tentu saja saya tidak tega paman. Tapi, mau bagaimana lagi. Dan
saya sudah bermusyawarah dengan mereka semua. Saya pergi bukan untuk kemana. Seperti
yang telah saya katakana tadi, saya pergi untuk mencari tambahan nafkah untuk
keluarga paman.”. Jawab Sugi dengan penuh keyakinan.
Melihat
jawaban Sugi yang sudah mentok seperti itu, Bapakku tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Sugi sudah benar-benar memiliki tekad bulat untuk berangkat merantau ke
Malaysia. Akhirnya Bapakku hanya bisa mendo’akan saja, semoga dia sukses selama
dalam perantauannya di Malaysia. Setelah selesai mgobrol dengan Sugi dan
keluarganya, aku dan Bapkku langsung berpamitan pulang.
Dalam
perjalanan pulang, aku dan Bapakku diam membisu, tiada sepatah kata pun yang
keluar dari mulut kami, sama-sama berkelana dalam alunan fikiran masing-masing.
Hal itu menambah sepinya pekat malam yang hanya diterangi oleh senter kecil
yang aku bawa. Jangkrik-jangkrik berbunyi dan burung-burung hantu bersahut-sahutan
disepanjang perjalanan yang kami lalui sehingga menambah suasana menjadi seram.
“Kak
Sugi kok berani berangkat ke Malaysia ya pak?” kataku pada Bapakku untuk
mencairkan sepinya malam. “Padahal kalau kita lihat berita-berita, banyak
orang-orang Indonesia yang dihukum bahkan ada yang dihukum mati disana”.
Lanjutku.
“Ya
tidak tahu juga nak, kau kan tahu sendiri jawaban dia tadi, dia sudah bertekad
untuk tetap berangkat”. Akhirnya bapakku berkata-kata juga, itu yang aku
tunggu-tunggu dari tadi. “Kita do’akan saja semoga dia selamat dan sukses
disana”. Tambahnya.
“Iya
pak”. Jawabku singkat. “Orang-orang yang merantau ke Malaysia biasanya menjadi
apa ya pak?” aku bertanya lagi pada Bapakku.
“Ya,
macam-macam nak, sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada yang menjadi
pembantu, ada yang menjadi sopir, ada yang menjadi tukang bangunan, ada yang
bekerja di tokoo, dan lain-lain”
Tidak
lama setelah obrolan itu akhirnya kami telah sampai dirumah. Ternyata ibuku
sudah menunggu dirumah untuk mengetahui kabar sebernarnaya perihal Sugi.
“Assalamu’alaikum”
kata ayahku ketika sudah sampai didepan rumah.
“Wa’alikum
salam” ibuku menjawabnya. “Bagaimana pak, tentang Sugi, apa dia benar-benar mau
berangkat ke Malaysia?” Ibuku langsung menanyakan pada bapak karena penasaran,
walupun Bapak masih belum duduk.
“Iya
Bu, dia sudah bulat, katanya besok malam mau berangkat”.
“Dapat
ide dari mana dia ya, Padahal disekitar sisni kan tidak ada yang merantau ke
Malaysia pak?”. Ternyata ke gelisahan ibu sama dengan kegelisahan kami.
“Kata
Sugi dari temannya, tidak tahu juga aku temannya yang mana” jawab Bapakku sambil
membuka baju. “Semoga saja dia tidak ditipu oleh temannya yang dimaksud itu Bu”
lanjutnya.
Kami
asyik mengobrol tentang Sugi yang mau berangkat ke Malaysia sampai pada hal-hal
lain. Keakraban dan keharmonisan keluarga kami benar-benar terasa pada waktu
itu. Sedangkan aku kebanyakan hanya menjadi pendengar setia saja, hanya sesekali
aku ikut berbicara itupun jika Bapak atau Ibuku bertanya padaku. Kemudian
setelah itu kami bersama-sama menuju meja makan, untuk makan malam bersama.
****
Besok
malamnya sekitar jam 21.00, tiba-tiba ada mobil Avanza warna silver masuk ke rumah
Sugi. Para tetangga bertanya-tanya penasaran, siapa gerangan yang datang.
Soalnya Selama ini di desa kami tidak ada orang yang memiliki mobil se mewah
itu. Usut punya usut, ternyata itu adalah mobil teman Sugi yang akan menjemput Sugi
pergi merantau ke Malaysia. Mengetahui demikian, tetangga langsung berduyung-duyung mendatangi rumah Sugi. Maka
dirumah Sugi menjadi agak ramai, para kerabat sugi juga ada disana. Mereka
semua berkupul untuk melihat dan melepas kepergian Sugi.
Isak
tangis sudah mulai terdengar, kerabat dan tetangga banyak yang menagis
tersebu-sedu. Seakan-akan mereka tidak percaya kalau Sugi akan melakukan hal
senekat itu. Nekat menurut kami, karena selama ini di desa kami belum ada yang pergi
merantau ke luar Negeri. Apalagi selama ini mereka mengenal Sugi sebagai sosok
yang sederhana dan sering membantu tetangga yang lagi kesusahan. Lantas
tiba-tiba mereka mendengar Sugi mau berangkat merantau ke Malaysia.
Sementara
Sugi sendiri didalam rumah, kelihatannya tenang-tenang saja, walaupun
sebenarnya dalam hatinya dia juga ingin menangis, karena akan berpisah dari
seluruh keluarganya dan akan hidup hanya dengan temannya di Negeri orang lain, Malaysia.
Namun, Sugi tidak menampakkan kesedihannya pada keluarga dan tetangganya, agar
mereka tidak semakin sedih melihat kepergiannya. Sugi berusaha untuk
menampakkan sikap biasa-biasa saja.
Ketika
semua persiapan sudah selesai dan sudah di cek semua, Sugi berpamitan pada
keluarganya, terutama pada orang tua, Istri dan anaknya yang lagi sedu-sedan
menangis.
“Ma,
aku mau berangkat ya!” kata Sugi dengan haru, bahkan dia juga mau menangis tapi
terus ditahannya. Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut istrinya.
Istrinya terus saja menangis semakin menjadi-jadi.
“Sudah
ma, jangan seperti itu. Itu nanti hanya akan menambah beban dalam diriku”.”Nanti
aku tidak tenang di Malaysia!”. Sugi mencoba menyadarkan istrinya. Setelah agak
lama, akhirnya istrinya berhenti juga menangis.
“Nah,
begitu dong. Itu baru istriku” kata Sugi sambil bergurau, namun istrinya tetap
diam. Sekan-akan dia tidak rela untuk melepaskan kepergian Sugi.
“Sudah
ya, aku mau berangkat. Kasihan temanku itu sudah menunggu dari tadi”.
Tetap
tidak ada jawaban yang keluar dari mulut istrinya, hanya anggukan kecil
dipaksakan yang dilihat Sugi.
Kemudian
Sugi menoleh pada anaknya yang bernama Waris, “Waris, kamu jangan nakal ya nak,
jangan lupa untuk selalu rajin belajar dan membantu ibu”. Kata Sugi pada
anaknya. Anaknya hanya mengangguk. dan Sugi memeluk mereka berdua dengan erat.
Setelah
itu Sugi sungkeman pada kedua orang tuanya, sambil berkata
“Aku
mau berangkat Pak, Bu. Daoakan aku semoga aku selamat dan sukses disana”. “Dan
tolong jaga istri dan anakku”. Lanjutnya.
“Iya
nak” jawab orang tuanya singkat, sambil mengusap-usab Sugi disertai dengan isak
tangis. Aku yang melihat kejadian itu juga turut menangis karena haru.
Setelah
selesai berpamitan pada seluruh keluarga, Sugi keluar dari rumah. Diluar
rumah sudah banyak tetangga yang
menunggu dari tadi. Sugi langsung berpamitan pada mereka semua sambil
bersalaman tanda perpisahan. Hanya kata-kata “Doakan aku ya”, yang Sugi katakan
pada mereka semua.
Sugi
menuju mobil avanza yang telah diparkir didepan rumahnya, yang dari tadi sudah
siap untuk berangkat. Dia masuk kedalam mobil itu, dan langsung dibawa
berangkat. Sugi melambai-lambaikan tangan pada keluarga dan orang-orang yang
ada dirumahnya sebagai tanda perpisahan.
Setelah
mobil agak jauh meninggalkan rumah, barulah sugi menagis mengeluarkan air mata
yang sedari tadi ditahan selama dirumahnya. Sugi menangis sejadi-jadinya.
“Sudah
jangan menangis Gi. aku juga seperti itu dulu pada waktu mau berangkat pertama
kali”. Tiba-tiba temannya yang didalam mobil berkata, yang bernama Shaleh.
“Tapi aku berpikir, aku pergi untuk mencari nafkah untuk keluarga, bukan untuk
bersenang-senang atau apapun”. Lanjut Shaleh untuk menenangkan Sugi.
Namun,
tetap tidak ada suara dari Sugi. Sementara mobil itu terus melaju semakin jauh
meninggalkan rumahnya. Teman Sugi yang bernama Shaleh itu sudah sepuluh tahun
berada di Malaysia, dan dia sekarang sudah sukses.
Di rumah
Sugi sendiri sudah mulai sepi. Tetangga dan kerabat yang tadinya datang ke rumahnya
mulai berangsur-angsur pulang setelah mereka bertemu dan menghibur istri dan
keluarga Sugi. Sekarang hanya tinggal penghuni rumah Sugi itu sendiri yaitu, istrinya,
anaknya dan kedua orang tua Sugi. Mereka semua diam, berlayar dalam lamunan
pikiran masing-masing.
Selang beberapa hari, tiba-tiba HP butut istri
Sugi berbunyi. Setelah dilihat nomor baru memanggil, dan itu nomor berbeda,
tidak seperti nomor yang biasa dipakai oleh orang-orang di desanya. Tanpa
berpikir panjang, istri Sugi langsung mengangkatnya.
“Hallo”
kata istri Sugi ketika mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum,
ma!” kata orang yang berada diujung telepon. Mendengar suara itu istri Sugi
langsung bahagia, karena dia tahu betul kalau itu adalah suara suaminya.
“Waalaikum
salam, kamu ya pa?” Tanya sitri sugi meyakinkan.
“Iya
ma. Al-hamdulillah aku sudah sampai di Malaysia dengan selamat!”
“Syukurlah
kalau begitu” jawab istri Sugi dengan haru.
“Bagaimana
keadaan Mama dan keluarga dirumah?”
“Al-hamdulillah
juga baik-baik saja pa. Waris sekarang masih
belum datang sekolah pa”. jawab istrinya.
Terus
terjadilah obrolan diantara mereka berdua sekedar untuk melepaskan rasa kangen
dan rindu mereka. Sambil menceritakan
seputar keadaan dan pekerjaan Sugi di Malaysia. Setelah sudah puas mengobrol, Sugi
langsung mengucapkan salam sambil menutup teleponnya.
***
Setelah
hampir satu tahun lamanya, terdengar kabar yang menghebohkan. Bagaimana tidak, kalau
ternyata keberangkatan Sugi ke Malaysia tidak dilengkapi dengan surat-surat
yang resmi alias dia menjadi TKI ilegal, yang sewaktu-waktu bisa berakibat
fatal pada dirinya. Menurut cerita dari keluarga Sugi, keberangkatannya ke
Malaysia melalui jasa tekong, karena lebih murah dan lebih gampang urusannya dibandingkan
dengan yang resmi. Maklum, orang desa suka mencari-cari yang lebih murah dan
gampang walaupun itu bisa berakibat fatal dan tidak bagus.
Selama
perantauannya di Malaysia, Sugi bekerja menjadi kuli bangunan. Dia harus
sembunyi-sembunyi ketika bekerja untuk menghindari petugas kepolisian Malaysia,
yang sewaktu-waktu datang memeriksa kelengkapan surat-surat dari para TKI.
Bahkan tidak jarang Sugi harus lari karena dikejar-kejar oleh petugs tersebut. Menurut
cerita dari keluarga Sugi selama ini keadaan Sugi masih tidak tenang dan terancam
disana. Selalu diselimuti dengan rasa takut. Bahkan Dia juga harus rela tinggal
di hutan demi untuk menghindari kejaran petugas polisi. Siang hari secara
sembunyi-nembunyi dia pergi untuk bekerja dan berbaur dengan temannya, malam
hari kadang dia harus kembali lagi kehutan tempat persembunyiannya.
Untung
Sugi selamat tidak tertangkap, temannya yang juga dari Indonesia yang berangkat
secara illegal sudah tertangkap, dan di penjara di Malaysia. Sebenarnya Sugi
berkeingnan juga untuk membuat paspor dan surat-surat kelengkapan lain. Tapi,
untuk saat itu dia masih belum punya uang, atau mungkin masih belum cukup. Upah
dari hasil kerja, sebagian dia kirimkan untuk keluarga dirumah, sebagai biaya hidup
dan biaya pendidikan anaknya, walaupun hanya seadanya. Sehingga tidak boleh
tidak untuk sementara dia harus rela sembunyi-sembunyi untuk menghindari
petugas hingga dia memilki surat-surat lengkap.
****
Singkat
cerita, saat ini setelah kurang lebih sepuluh tahun Sugi berada di Malaysia. kabarnya
dia sekarang sudah memilki surat-surat resmi dan paspor. Bahkan pekerjaan dia
sudah naik jabatan, yang asalnya hanya sebagai kuli bangunan, sekarang sudah
berpindah sebangai mandor, dia memiliki gaji yang lebih tinggi dibanding dengan
tukang-tukang lain. Sekarang Sugi tinggal menikmati dan menekuni pekerjaannya,
tidak perlu takut dan bermain kejar-kejaran lagi dengan petugas kepolisian
setempat.
Kiriman
uang ke rumahnya pun lancar, bahkan saat ini keluarganya dirumah telah mampu
membangun rumah yang megitu mewah, dapat dikatakan rumah itu tidak ada yang
menandingi kemewahannya di desa kami. Demikian juga dengan anaknya, Waris yang dulunya hanya memiliki sepeda motor biasa,
sekarang sudah memiliki sepeda motor yang harganya puluhan juta rupiah. Waris
juga dikuliahkan di universitas yang sangat elit dikotanya. Pokoknya kehidupan
keluarga Sugi saat ini sudah berubah berbalik seratus delapan puluh derajad lebih
baik. Dan itu tidak lepas dari keberhasilan dan kerja keras yang dilakukan Sugi.
Tahun
2010 kemarin, Sugi mengajak istrinya untuk sama-sama merantau ke Malaysia. Hingga
akhirnya istrinya hamil disana, dan ketika sudah sampai tujuh bulan, Sugi dan
istrinya pulang ke daerahnya. Tujuannya untuk melakukan ritual tujuh bulanan,
dan supaya nanti istrinya dapat melahirkan di tempat kelahiran Sugi. Tapi
nasib, keluarga Sugi didera cobaan lagi, anak yang ada dalam kandungan istrinya
itu meninggal saat dilahirkan.
Diakhir
cerita ini, yang terpenting saat ini di desa kami sudah banyak juga yang pergi
merantau ke Malaysia. Maindset yang
miring terhadap orang yang pergi merantau sudah berubah. Merantau ke Malaysia
sudah bukan menjadi hal tabu lagi didesa kami. Ada yang sukses, ada juga yang
tidak,bahkan ada juga yang tertangkap di Malaysia karena tidak memiliki
surat-surat resmi. Orang-orang yang mau berangkat ke Malaysia pasti akan
menghubungi Sugi, dan dia pula yang menempatkan dan mencarikan mereka
pekerjaan.Keberanian dan keyakinan Sugi untuk merantau ke Malaysia telah
membuka jalan baru bagi orang-orang di desa kami. Hal itu dapat terjadi tidak
lain karena Sugi berani mengambil resiko!.