Minggu, 09 September 2012

SEMAKIN TERKIKISNYA BAHASA MADURA


SEMAKIN TERKIKISNYA BAHASA  MADURA
Oleh: Moh. Dasuki SN*




 Indonesia merupakan Negara yang memilik beraneka ragam bahasa dan budaya, semboyan  Bhinneka Tunggal Ika (walaupun berbeda-beda tapi tetap satu) menjadi pijakan utama yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara Indonesia, agar tidak saling menyalahkan dan mengklaim bahwa kelompok sendirilah yang paling benar, sedangkan kelompok lain salah, sehingga hal ini bisa menimbulkan kekerasan dan intimidasi terjadi dimana-mana dengan dalih untuk mempertahankan harga diri dan kebudayaanya. 
Madura, termasuk salah satu daerah yang memperkaya Indonesia dengan berbagai macam budaya dan bahasa, daerah yang disebut dengan pulau garam ini terletak di Provensi Jawa Timur. Madura memiliki bahasa daerah sendiri, bahkan menempati urutan ketiga setelah bahasa Sunda dan Jawa dari bahasa daerah terbesar yang ada di Indonesia. Dan ada pula bahasa madura yang telah di adopsi menjadi bahasa Indonesia baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Secara garis besar, Bahasa madura memiliki tiga tingkatan dalam mempergunakannya, tingkatan yang Pertama, adalah bahasa enja'-iya yang biasa dipergunakan untuk sesama teman atau untuk orang yang sebaya. Kedua, adalah bahasa enggi-enten, biasa dipergunakan untuk saudara atau kerabat yang umurrnya setara atau orang yang lebih muda, tapi secara silsilah dia termasuk keluarga dari sesepuh orang tuanya. Ketiga, adalah tingkat bahasa yang paling tinggi yaitu bahasa enggi-bunten biasa dipergunakan untuk orang yang lebih tua, guru, kedua orang tua dan orang-orang yang memilki starata sosial  tinggi didaerahnya. Semua bahasa tersebut diatas secara umum mempunyai arti bahasa Indonesia adalah iya dan tidak. Cuma, beda orang dan tingkatan yang diajak bicara maka beda pula bahasa madura yang dipergunakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, dimana saat ini dikenal dengan zaman modern, kata anak muda saat ini zaman penuh dengan ke-gaul-an, eksistensi bahasa madura semakin mengkhawatirkan, khususnya bahasa yang paling halus (tingkatan ketiga), yaitu  bahasa enggi-bunten. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain adalah orang-orang madura sendiri sudah banyak yang jarang mempergunakan bahasa madura, khususnya anak-anak muda, lebih-lebih mereka (Maaf) yang ada diperkotaan, mereka lebih suka mempergunakan bahasa kegaulannya dari pada mempergunakan bahasa daerahnya.
Juga fenomena yang sudah lumrah terjadi di masyarakat baik diperkotaan maupun dipedesaan, dimana anak-naka mereka yang masih kecil, yang baru bisa bicara sudah diajak berkomonikasi dan dibiyasakan dengan memakai bahasa Indonesia, dan jarang sekali memakai bahasa Madura sebagai bahasa komonikasi dengan anak-anak mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian, anak-anak sudah tidak dibiasakan berbicara dan diperkenalkan dengan bahasa madura, maka, bagaimana mereka bisa tahu dengan bahasa madura? Sehingga mereka tidak bisa disalahkan jika bahasa madura mereka hanya tahu yang dasar saja yang terkesan kasar dan tidak mengerti tentang andhep ashor.
Memang, disatu sisi mengajak berkomonikasi anak sejak kecil dengan memakai bahasa Indonesia itu baik, karena itu akan memudahkan anak untuk tahu berbahasa Indonesia, dan bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa pemersatu bangsa.  Tapi, disisi lain, hal itu juga akan berakibat terhadap kurangnya pemahaman anak sebagai generasi penerus terhadap bahasa daerahnya sendiri. Sedangkan bahasa Indonesia bisa dipelajari dan dipraktekkan di bangku sekolah, dan pelajaran bahasa madura disekolah sangat terbatas waktunya bahkan tidak ada sama-sekali.
Termasuk juga yang menjadi fenomena terkikisnya bahasa madura adalah, ketika ada acara-acara yang ada dimadura, para MC (pembawa acara) ataupun yang menjadi host pada acara tersebut sudah jarang di jumpai yang menggunakan bahasa Madura.tidak menutup kemugkinan tatanan yang sudah turun temurun dilakukan kini sudah mulai runtuh dan bergeser untuk cenderung meningalkan bahasa daerahnya.
Mungkin, itu hanya sekelumit ancaman saja, masih banyak fenomena lain yang tentunya juga bisa berakibat terhadap semakin pudarnya bahasa madura. Tapi, hal tersebut merupakan sebab yang sering terjadi dimasyarakat, dan dibutuhkan langkah kongkrit agar tidak semakin menjadi bomerang terhadap eksistensi bahasa Madura. Oleh karena itu, dibutuhkan andil dari semua pihak; baik orang tua, sekolah atau guru, dan pemerintah, supaya bahasa madura ini tidak semakin hari semakin pudar.
Bagi  orang tua, hendaknya selalu mengajak berkomonikasi anaknnya, khususnya yang masih kecil dibiasakan dengan memakai bahasa madura yang halus dalam kegiataan sehari-hari. Bagi sekolah dan guru diharuskan betul-betul telaten dalam membina pembelajaran bahasa madura yang ada di sekolah kalau perlu sekolah menambah alokasi jam mata pelajaran bahasa madura serta memberikan pemahaman tentang pentingnya memelihara dan melestarikan bahasa daerah.
Sedangkan bagi Pemerintah, sangat baik jika mengeluarkan atau menerbitkan buku-buku yang berbahasa maadura yang membahas tentang seluk-beluk bahasa Madura, kemudian diberikan kepada sekolah-sekolah supaya bisa dijadikan referensi dan bacaan oleh generasi kita sekarang dan berikutnya. Dengan adanya andil dari semua pihak tersebut diatas, maka bahasa madura, yang termasuk kekayaan bahasa yang ada di Indonesia diharapkan akan tetap eksis dan terus ada generasi yang betul-betul memahaminya.

Senin, 03 September 2012

Membangun Peradaban Dengan Buku


MENCINTAI BUKU, TONGGAK UTAMA  MEMBANGUN PERADABAN
Moh. Dasuki SN*

"Buku adalah jendela dunia", begitulah adagium yang sering kita dengar, dan penulis kira adagium tersebut menjadi pantas untuk memulai tulisan ini. Ya, kata-kata tersebut memang sangat klise sekali kedengarannya. Namun, adagium tersebut tentu tidak hanya dijadikan sebagai isapan jempol belaka, tanpa mengandung dan tanpa memiliki makna apa-apa lagi. Kita sadari, walaupun kata-kata tersebut sebenarnya sudah lumrah, dan mengandung arti yang begitu luas, tapi tetap saja penerapan atau aplikasi dari kata-kata tersebut masih belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, terbukti dengan kurangnya orang-orang Indonesia pada umumnya, mencintai terhadap buku-buku.
Waktu-waktu orang Indonesia -walapun sebenarnya hal ini tidak bisa digeneralisasi terhadap seluruh orang Indonesia- terutama anak muda saat ini, lebih banyak dipergunakan terhadap hal-hal yang tidak positif. Seperti hanya nonton senetron-senetron di layar TV, atau hanya sekedar huru-hara sesama teman, nonkrong-nongkrong dipinggir jalan, dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak memberikan manfaat untuk dirinya dan orang lain. Bahkan ketika waktu sekolahpun kebanyakan anak muda masih tetap santai-santai saja atau sampai bolos sekolah, dan sedikit sekali mereka yang mempergunakan waktu kosong dengan membaca buku. Entahlah, mungkin ini hanya anggapan parsial dari penulis saja.
Padahal sebagaimana kita mahfum, kualitas keilmuan seseorang biasanya akan ditentukan oleh seberapa banyak dia telah membaca buku dan jenis buku apa saja yang telah dibaca. Walaupun sebenarnya ada juga orang yang dapat memilki berbagai macam ilmu pengetahuan dengan tanpa maembaca buku, yaitu orang yang memiliki ilmu "Ladunni", tapi, untuk saat ini kayaknya sangat sulit untuk menemukan orang yang memilikinya, mungkin hanya satu banding seribu saja. Hanya orang-orang yang dipilih-Nya yang memilikinya. Tentu saja hanya orang-orang yang betu-betul beriman dan  bertaqwa kepada-Nya yang menjadi pilihan.
Tidak berlebihan kiranya adagium diatas, sebab, dengan buku seseorang bisa membuka dan mengembangkan cakrawala berfikirnya, tidak akan tertindas dan tergerus dengan kemajuan zaman. Ya, didalam buku banyak sekali tersimpan misteri tentang berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang dapat diambil oleh seseorang, dan pada akhirnya dapat membawa seseorang memiliki pengetahuan dan kompetensi untuk mampu membuka jendela dunia, dalam artian orang tersebut memiliki kapabilitas dan kualitas yang mumpuni untuk hidup dan memberikan manfaat kepada orang lain didunia ini.
Namun, perlu juga diperhatikan -walaupun sebenarnya pembaca mungkin juga sudah paham- bahwa buku-buku tidak akan pernah memberikan dampak apa-apa (manfaat) kepada seseorang, jika buku-buku tersebut tidak dibaca, hanya dijadikan sebagai hiasan rumah yang tersimpan dan tersusun rapi didalam rak-rak yang berjejer. Demikian juga buku tidak akan memberikan manfaat jika buku hanya dibawa kemana-mana dengan menaruknya didalam tas tanpa sedikitpun dibacanya. Buku dapat kita rasakan manfaatnya tentu saja ketika seseorang membaca dan memahami apa yang terkandung  dari isi buku tersebut.
Mengapa harus membaca buku? Kenapa tidak lansung bersekolah yang rajin, dan menempuh pendidikan yang tinggi untuk memiliki ilmu pengetahuan? Ya, begitulah pertanyaan atau kebingungan yang ada dalam benak kita. Perlu diketahui bersekolah dan menempuh pendidikan tinggi, juga merupakan sarana untuk membaca buku. Didalam sekolah ataupun perguruan-perguruan tinggi tentunya juga tidak akan pernah lepas dari buku-buku yang dijadikan sebagai sumber ataupun rujukan pelajaran.
Banyak cara untuk bisa membaca buku, tergantung dari kesenangan peribadi masing-masing, walaupun tidak didalam kelas, bisa di perpustakaan di rumah dan bahkan disemua temapt yang kita inginkan. Ketika sudah terbiasa dengan membaca buku, tentunya hal tersebut akan mempengaruhi terhadap tingkat kecerdasan seseorang. Sebab, Tingkat inteleensi (kecerdasan) seseorang salah satunya adalah dipengaruhi oleh membaca, dan akan menjadi sangat baik jika membaca kemudian dibarengi dengan mendenagar sendiri secara langsung dari orang lain yang sedang menyampaikan, sseperti guru, dosen dan yang lainnya.
Kita bisa lihat dalam semua agama ataupu kepercayaan yang dianut oleh seseorang, pasti memiliki yang namanya buku panduan (kitab kepercayaan mereka) yang dijadikan sebagai pegangan hidup, seperti umat Kristen yang menjadikan Injil sebagai kitab pedomannya, demikian juga dengan agama Islam yang menjadikan kitab Al-qur'an sebagai sumber utama dan hadis Nabi Muhammad sebagai suber kedua dalam melakukan segala aktivitas aspek kehidupan. Oleh karena itu, membaca buku berarti telah berusaha untuk menghilangkan ketidak tahuan, yang akhirnya berdampak terhadap kehidupan. Karena buku memang tidak bisa dilepaskan dari semua aspek kehidupan.
Dalam ajaran Islam, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muammad SAW. kalimat pembukanya atau pada awalnya berisi kata tentang perintah membaca (iqra'). Wahyu pertama yang dimaksud adalah surat Al-Alaq ayat 1-5, yang artinya "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu. Yang telah menciptakan.  Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketauinya (QS. Al-alaq 1-5).
Dari wahyu pertama tersebut, kita dapat mengambil hikmah, bahwa perintah membaca disini bukanlah memilki arti yang sempit kalau kita aplikasikan dalam kehidupan saat ini, melainkan membaca memiliki makna yang begitu luas. Membaca ayat-ayat Allah yang berupa ayat qaulliah-Nya (Al-qur'an) ataupun ayat-ayat kauniya-Nya yang terbentang diseluruh alam semesta ini dengan melakukan penelitian dan sebagainya.
Sejak turun wahyu pertama tersebut, dakwah Islam oleh Nabi Muamammad SAW. telah dimulai. Dan pada akhirnya mampu menggeser kebiasan-kebiasaan buruk zaman jahiliyah yang ada di Makkah pada waktu itu, berubah menjadi zaman yang beradap dan berperilaku sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muammad SAW. Pertama kali dakwah Nabi dimulai dengan sembunyi-sembunyi, mulai dari keluarga Nabi sampai kepada sahabat-sahabat dekat beliau. Dan setelah turun ayat berikutnaya (QS. A-Muddassir 1-7), yang merupakan perintah untuk berdakwah secara jelas atau terang-terangan, barulah Nabi berdakwa secara terang-terangan.
Jadi, dengan ayat yang pertama kali turun yang pertamanya berbunyi Iqra' (Bacalah), Nabi telah memulai menata kehidupan umatnya yang ada di kota makkah dan seluruh umatnya pada umumnya. Walaupun banyak juga kaumnya yang menentang dan tidak mempercayainya. Bahkan paman beliau sendiri yang bernama Abu Lahab dan Abu Jahal tetap menjadi orang kafir yang selalu menghalang-halangi da'wah Nabi. Lalu Nabi hijrah dan melanjutkan berda'wah ke kota Yastrib (Madinah), dikota tersebut dakwah nabi mendapatkan sambutan luar biasa dari penduduknya.   

Buku Dan Peradaban; Tidak Bisa Dipisahkan!
Kita pasti tahu dalam sejarah, tentang zaman keemasan yang pernah dimiliki oleh umat Islam terdahulu. Islam pernah menjadi pusatnya berbagai ilmu pengetahuan, Negara yang super power, segala bidang keilmuan semuanya ada. Seperti ilmu fikih dan ilmu usul fiqih, filsafat, ilmu fisika, kedokteran, arsitektur dan yang lainnya semuanya lengkap, dan penemunya tentu saja juga berasal dari ulama-ulama besar Islam. Sehingga tidak heran kalau misalkan Islam menjadi rujukan dari negara-negara lain pada waktu itu. Demikian juga dengan perkembangan Islam, Islam juga sudah mulai berkembang luas dan sudah melakuakan ekspansi kebeberapa wilayah di benua afrika dan eropa. Utamanya pada masa Bani Umayyah (41 h- 423 h/661 M-1031M) yang berpusat di Demaskus dan Cordova (Spanyol).
Ekspansi yang dilakukan oleh Bani Umayyah telah membuat Negara Islam menjadi Negara besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan arab.
Pada masa ini banyak nama-nama ulama Islam yan muncul sebagai orang yang ahli ilmu pengetahuan, seperti Hasan Al-Bashri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata yang dikenal sebagai orang yang ahli dibidang ilmu keagamaan, sejarah, dan filsafat. Sedangkan Khalid bin Yazid bin Mu'awiyah adalah seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Ia adalah orang pertama yang menterjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia (Ensiklopedi Islam,1993;133).
Kejayaan Islam tidak hanya sampai disitu saja, sesudah Bani Umayyah runtuh kemudian digantikan dan dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah (132-656 h/ 750 M- 1250 M) yang berpusat di Baghdad, dan pemerintah saat itu lebih memperhatikan lagi terhadap masalah ilmu pengetahuan. Pada era ini Islam telah benar-benar berkembang dan mencapai zaman keemasannya.
Pada periode ini, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad, yang menjadi cikal bakal dari berdirinya madrasah-madrasah yang lainnya. Dari madrasah ini telah lahir ulama cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya adalah Az-Zamakhsyari penulis dalam bidang tafsir dan usul Ad-din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidan perbintangan atau astronomi (Ensiklopedi Islam,1993;8). Dan juga masih banyak lagi ulama-ulama cendikiawan muslim lainnya pada masa sebelum dan sesudanya, yang merupakan pencetus dan penemu dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pemaparan historis diatas dikemukakan disini bukan dimaksudkan sebagai bahan bernustalgia atau menghibur diri bagi umat Islam yang hingga saat ini masih menghadapi ketertinggalannya dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat, melainkan untuk dimunculkan suatu pertanyaan mengapa umat Islam pada saat itu mengalami kemajuan, sedangkan sekarang berada dalam kemunduran?.
Tentunya ada beberapa sebab yang melatar belakanginya. Tapi yang jelas salah satu penyebab yang paling menonjol dan paling dominan adalah karena perhatian mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begitu besar. Dan itu tidak lepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh penguasa dan ulama cendikiawan muslim pada waktu itu, dengan cara memperbanyak mengarang dan menerbitkan buku-buku yang akirnya menjadi khazanah ilmu pengetahuan pada waktu itu bahkan bermanfaat sampai saat sekarang ini.
Sebut saja seperti Ibnu Sina (Avicenna) yang ahli dalam bidang kedokteran, mengarang buku tentang kedokteran yang terkenal dengan nama Al-qanun fi al-Thibb. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa latin, berpuluh kali, dicetak dan tetap dipakai di Eropa sampai pertengahan kedua dari abad kedua dari abad ke-17 M (Lih. Abudin Nata, Paradikma Pendidikan Islam. 2001;266).
Disamping para pengarang buku tersebut, sumbangsih besar juga diberika oleh para penerjemah, yaitu orang-orang yang menterjemahkan buku-buku, walaupun bukan berasal dari orang Islam, seperti buku-buku dari Yunani dan yang lainnya. Hal  tersebut jelas sangat menunjang terhadap kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Ini juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah yang begitu besar, dengan memberikan upah atau imbalan kepada para penerjemah yang begitu besar. Yaitu dengan cara menghitung seberapa berat buku yang telah ia terjemahkan. Jika berat buku yang diterjemahkan tersebut satu kilo gram maka upahnya juga dengan satu kilo gram mas, sehingga hal ini memebuat para penerjemah semakin giat dalam menerjemahkan buku-buku asing.
Selanjutnya, setelah peradaban gemilang umat Islam tersebut mulai punah dan hilang ditelan oleh sejarah karena dirampas oleh orang-orang kafir, giliran bangsa baratlah yang mulai unjuk gigi dan mulai mencuat kepermukaan dengan berbagai disiplin ilmu pengetauan yang mereka miliki, seperti yang kita lihat saat ini. Tapi, menurut sejarah ternyata hal itu juga tidak lepas dari sumbangsih umat Islam dahulu, walaupun mereka (barat) tidak sepenuhnya mengakui.
Orang-orang barat menjadi maju setelah mereka merampas semua buku-buku yang dimilki oleh umat Islam saat terjadi peperangan dan umat Islam dipukul mundur hingga mengalami kekalahan. Semua kebudayaan-kebudayaan yang berbau Islam juga tidak luput dari serangan mereka, sehingga peradaban Islam pada waktu itu benar-benar dibumi hanguskan dan musnah. Sedangkan buku-buku yang penting dan berguna bagi mereka dibawa dan diterjemahkan kedalam bahasa mereka sendiri, sehingga mereka benar-benar mencapai kemajuan peradaban yang begitu besar dan menggeser dari peradaban yang dimiliki Islam ke tangan kristen di barat.
Jadi, setelah kita cermati kemajuan yang dicapai baik oleh Islam ataupun oleh barat, kalau kita telaah lebih lanjut, hal itu tidak lepas dari perhatian pemerintah dan masyarakat teradap ilmu pengetahuan yang begitu besar, dengan cara menulis buku-buku atau menerjemahkan buku-buku. Karena buku merupakan tonggak awal untuk menciptakan sebuah peradaban yang gemilang. Dan jelaslah sudah bahwa dengan buku akan mampu membuka dunia bahkan akan menciptakan peradaban yang begitu gemilang.Dan tidak menutup kemunkinan suatu saat Islam akan meraih kembali zaman keemasan yang pernah di raih dahulu, jika usaha dan perhatian uamat Islam saat ini pada ilmu pengetahuan sama seperti uamat Islam dahulu.